PERKOSAAN DI PENJARA IRAN & HADIS YANG MENGHALALKANNYA

Bagaimana tawanan, lelaki dan perempuan, di penjara-penjara di Iran secara sistematis diperkosa atas perintah Ayatollah & didasarkan pada Sunnah Nabi mengenai pemerkosaan tawanan, khususnya tawanan wanita.

Sejak lahirnya rezim Islam di Iran tahun 1979, pemerkosaan tawanan politik semakin sering dilakukan meski jarang dilaporkan. Tapi akhir-akhir ini banyak korban berani mengungkapkan perkosaan yang mereka alami. Apalagi setelah pemilu 2009 yang kontroversial, dimana kandidat Presiden yang kalah, Mehdi Karroubi, mengungkapkan bahwa pria dan wanita yang ditangkap selama demo-demo protes setelah pemilu tersebut, secara sistematis diperkosa dengan sadis.

Setelah ditaklukkannya Persia kuno oleh Muslim Arab tahun 644, jutaan wanita Iran diperkosa, diperbudak dan dikirim sebagai tawanan perang untuk kemudian dijual dipasar budak dalam teritori Arab-Islam. Kata bahasa Persia ‘Tajovoz’ tidaklah hanya berarti ‘Perkosa’ yang mana seorang lelaki menguasai atau mencuri istri orang, tapi juga berarti penghancuran dan perusakan lingkungan milik seseorang oleh penjajahnya. Dalam sebuah sistem kepercayaan dimana bocah wanita 9 tahun bisa diperkosa oleh ‘suaminya’ sendiri, perkosaan, dalam pengertian sebuah masyarakat patriarki yang mengontrol kaum wanita yang diperkenalkan orang-orang Arab Islam ini mengandung elemen penakluk, penghina dan perusak budaya Iran. Sejak dikuasai oleh Muslim Arab, wanita-wanita Iran, yang sebelumnya sejajar dengan kaum lelaki Iran, sejak saat itu hanya dianggap sebagai harta milik kaum lelaki, pertama milik ayahnya, lalu milik suaminya. Dalam kasus-kasus perkosaan di Iran yang Islami itu, kaum wanita selalu dituduh sebagai biang keroknya dan mengalami penghinaan lebih besar dibanding pemerkosanya sendiri. Continue reading

DEBAT ANTARA YANG MULIA AYATOLLAH MONTAZERI DAN ALI SINA 4

Pertanyaan no. 4

Wahai Ayatollah, di suratmu engkau tampaknya menyetujui bahwa yang sang Nabi lakukan adalah karena hasil akhir menentukan tujuan perbuatan. Engkau tidak merasa terganggu bahwa yang dia lakukan sangat tak bernorma, tidak jujur dan kejam karena ia adalah seorang utusan Tuhan dan karena itu, apapun yang dilakukannya, meskipun nyata-nyata jahat, dianggap baik.

Pokok utamanya bukan siapakah Muhammad dan apa yang dilakukannya. Muhammad telah mati dan apa yang dilakukannya sudah berlalu (jadi bagian sejarah). Masalah utamanya adalah siapakah KITA? Apa yang dapat dikatakan dari sebuah masyarakat yang menganggap seorang penjahat, pembantai dan penggarong sebagai pemimpin agamanya? Apa yang dapat dikatakan tentang kita, nilai-nilai dan moral kita, jika kita mengangkat orang seperti Muhammad sebagai guru kita? Bagaimana kita bisa jadi masyarakat berakhlak jika Nabi kita tercinta ini adalah seorang pembunuh? Bagaimana kita bisa mendirikan nilai-nilai kemanusiaan yang penuh toleransi, persamaan hak, keadilan dan belas kasihan jika pemimpin kita tidak memiliki semua ini? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab negara kita (Iran) dalam waktu genting sekarang. Inilah pertama kali sejak hidup selama 1400 tahun di bawah ancaman teror dan dibutakan matanya, kita punya kesempatan untuk melihat diri kita sendiri, bertanya dan menghadapi kenyataan.

Kita adalah hasil pemikiran kita dan kita berpikir tergantung apa yang kita percayai. Dapatkah kita menjadi negara yang damai, menyayangi dan bermartabat jika kita percaya pada seorang yang ternyata adalah pembantai masal, pembohong, pencuri, penjagal, pemerkosa, penyamun, orang yang penuh nafsu berahi pada wanita, suka berperang dengan penuh kebencian? Dapatkah kita mengeyam kedamaian jika Nabi kita tak mengajar apapun selain perang? Dapatkan kita bertoleransi satu sama lain dan menghargai perbedaan kita jika orang yang kita muliakan ternyata melecehkan semuanya yang berbeda dari dia? Dapatkah kita menghormati para wanita dalam masyarakat kita jika pemimpin spiritual kita, yang kita anggap tak pernah salah, menyatakan bahwa wanita kurang cerdas, wanita adalah tulang-tulang iga yang bengkok, wanita adalah malapetaka dan dikuasai Setan? Dapatkah kita mengganti kebencian yang membara dalam hati kita pada kaum minoritas di sekitar jika Nabi kita bilang mereka itu najis, harus dibunuh, ditekan, dihina dan bayar Jazyah? Dapatkan kita mencintai satu sama lain jika Nabi kita mengharuskan kita membenci? Bukankah sebenarnya seorang pemimpin itu lebih maju daripada pengikutnya? Bagaimana kita dapat maju jika pemimpin kita begitu terbelakang?

Tujuan untuk mengetahui Islam dan kebenarannya pada akhirnya adalah untuk mengetahui siapa kita, mengapa sejarah bangsa kita jadi seperti ini dan bagaimana sampai kita bisa begini. Jika suatu jenis penyakit telah diketahui dokter, maka dokter itu sebentar lagi akan mampu menemukan obatnya. Inilah saatnya masyarakat kita menaruh perhatian atas penyakit kita. Mungkin dengan ini kita sebentar lagi bisa mendapatkan obat penyembuhnya.